MAKALAH KAPASITAS EMPATI
DAN PRIBADI KONSELOR TERINTEGRASI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Empati (dari Bahasa Yunani εμπάθεια yang berarti "ketertarikan fisik") didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengenali, mempersepsi, dan merasakan perasaan orang lain. Karena pikiran, kepercayaan, dan keinginan seseorang berhubungan dengan perasaannya, seseorang yang berempati akan mampu mengetahui pikiran dan mood orang lain. Empati sering dianggap sebagai semacam resonansi perasaan.
Seorang konselor diharapkan memiliki pribadi yang dapat mencerminkan perilakunya dalam mewujudkan kemampuan dalam hubungan membantu konseli tetapi juga mampu menyadari dunia lingkungannya, mau menyadari masalah sosial politiknya, dan dapat berdaya cipta secara luas dan tidak terbatas dalam pandangan profesionalnya. Maka dari itu dibutuhkan pemahaman yang luas tentang pngembangan pribadi konselor yang terintegrasi, demi tewujudnya lulusan guru pembimbing atau konselor yang profesonal dibidangnya. Dalam makalah kami akan dibahas lebih lanjut tentang pribadi konselor yang terintegrasi dan indicator pribadi konselor yang terintegrasi.
Konteks tugas konselor berada dalam kawasan pelayanan yang bertujuan mengembangkan potensi dan memandirikan konseli dalam pengambilan keputusan dan pilihan untuk mewujudkan kehidupan yang produktif, sejahtera, dan peduli kemaslahatan umum. Pelayanan dimaksud adalah pelayanan bimbingan dan konseling. Konselor adalah pengampu pelayanan ahli bimbingan dan konseling, terutama dalam jalur pendidikan formal dan nonformal. Ekspektasi kinerja konselor dalam menyelenggarakan pelayanan ahli bimbingan dan konseling senantiasa digerakkan oleh motif altruistik, sikap empatik, menghormati keragaman, serta mengutamakan kepentingan konseli, dengan selalu mencermati dampak jangka panjang dari pelayanan yang diberikan. Sosok utuh kompetensi konselor mencakup kompetensi akademik dan profesional sebagai satu keutuhan. Kompetensi akademik merupakan landasan ilmiah dari kiat pelaksanaan pelayanan profesional bimbingan dan konseling. Kompetensi akademik merupakan landasan bagi pengembangan kompetensi profesional, yang meliputi: (1) memahami secara mendalam konseli yang dilayani, (2) menguasai landasan dan kerangka teoretik bimbingan dan konseling, (3) menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan, dan (4) mengembangkan pribadi dan profesionalitas konselor secara berkelanjutan. Unjuk kerja konselor sangat dipengaruhi oleh kualitas penguasaan ke empat komptensi tersebut yang dilandasi oleh sikap, nilai, dan kecenderungan pribadi yang mendukung. Kompetensi akademik dan profesional konselor secara terintegrasi membangun keutuhan kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.
1.2 Rumusan Masalah
Dengan melihat latar belakang yang telah dikemukakan, maka beberapa masalah yang dapat penulis rumuskan dan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah
1.2.1 Bagaimana pengertian Empati ?
1.2.2 Bagaimana Pengertian Perspektif Subyektif (Internal Frame of Reference)?
1.2.3 Bagaimana pengertian kepedulian ?
1.2.4 Apa pengertian Personal Distress (Distress Pribadi) ?
1.2.5 Apa Latar belakang pribadi konselor yang terintegrasi ?
1.2.6 Bagaimana Pribadi konselor yang terintegrasi ?
1.2.7 Bagaimana Indikator Pribadi Konselor yang Terintegrasi ?
1.2.8 Bagaimana Tipe-tipe pribadi konselor yang terintegrasi ?
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini dilakukan untuk memenuhi tujuan-tujuan yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca. Secara terperinci, tujuan dari penulisan makalah ini adalah
1.3.1. Untuk mengetahui pengertian pengertian Empati
1.3.2. Untuk mengetahui Pengertian Perspektif Subyektif (Internal Frame of Reference)?
1.3.3. Untuk mengetahui pengertian kepedulian
1.3.4. Untuk mengetahui pengertian Personal Distress (Distress Pribadi)
1.3.5. Untuk mengetahui Latar belakang pribadi konselor yang terintegrasi.
1.3.6. Untuk mengetahui Pribadi konselor yang terintegrasi
1.3.7. Untuk mengetahui Indikator Pribadi Konselor yang Terintegrasi
1.3.8. Untuk mengetahui Tipe-tipe pribadi konselor yang terintegrasi
1.4 Manfaat Penulisan
Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dan tujuan tersebut adapun manfaat yang ingin diperoleh dalam pembahasan makalah ini yaitu untuk menambah minat siswa dalam pembelajaran. Dan juga untuk mengetahui bagaimana model pembelajaran Project Based Learning ( PjBL ) dilakukan dalam pembelajaran.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Empati
Empati adalah suatu istilah umum yang dapat digunakan untuk pertemuan, pengaruh dan interaksi di antara pribadian dengan pribadi. “Empati” berasal dari kata Yunani “pathos”, yang berarti perasaan yang mendalam dan kuat yang mendekati penderitaan. Empati mengacu pada kegiatan identifikasi kepribadian yang lebih mendalam kepada seseorang sedemikian rupa sehingga seseorang yang berempati sesaat melupakan atau kehilangan dirinya sendiri. Dalam proses empati yang mendalam inilah berlangsung proses pengertian, pengaruh dan bentuk hubungan antarpribadi yang penting lainnya. Dengan demikian, didalam mendiskusikan konsep empati yang tidak hanya mengulas suatu proses kunci menuju dan di dalam konseling efektif, tetapi juga termasuk pada pekerjaan sebagai guru, pembuka agama, dan pekerjaan lain yang keseluruhan isi pekerjaan tersebut bergantung pada proses mempengaruhi orang lain.
Empati juga dapat diartikan kepribadian yang ikut mesra dan berpikir ke dalam kepribadian lain sehingga tercapai suatu keadaan identifikasi. Dalam identifikasi ini pemahaman antar manusia yang sebenarnya dapat terjadi. Dalam kenyataanya, tanpa empati tidak mungkin ada pengertian. Pengalaman empati terjadi pada konselor berhari-hari baik ia mengenalinya atau tidak. Empati tampaknya sulit dipahami justru karena empati merupakan sesuatu yang sudah umum dikenali serta mendasar. Seperti yang ditunjukkan oleh Adler, bahwa identifikasi kepada diri seseorang ini muncul sampai batas-batas tertentu dalam setiap percakapan. Empati merupakan proses mendasar dalam cinta.
Dalam konseling, konselor yang efektif berusaha untuk melihat dan memahami masalah yang dihadapi konseli dari sudut pandang konseli itu.
Adler mengenali empati sebagai salah satu fungsi kreatif dalam kepribadian, dengan menyatakan bahwa :
Empati terjadi pada saat seorang manusia berbicara (satu sam lain). Tidak memungkinkan untuk memahami individu lain jika tidak memungkinkan pula untuk mengidentifikasikan diri dengan lawan bicara. Jika kita mencari asal usul kemampuan bertindak dan merasa seolah diri kita ini orang lain ini, kita dapat menemukannya dalam keberadaan perasaan sosial bawaan. Pada kenyataanya, ini merupakan perasaan kosmis dan refleksi dari keterkaitan kosmos seluruhnya yang ada dalam diri kita; karakteristik yang tak dapat dielakkan sebagai manusia.
2.2 Pemahaman Perspektif Subyektif (Internal Frame of Reference)
Istilah lain empati juga dikemukakan oleh E.B. Tichener, seorang ahli psikologi Amerika. Menurut Tichener empati awalnya dalam Bahasa Inggris dari kata Yunani empatheia, “ikut merasakan”, istilah yang pada awalnya digunakan para teoritikus estetika untuk kemampuan memahami pengalaman perspektif subjektif orang lain. Teori Titchener adalah bahwa empati berasal dari semacam peniruan secara fisik atas beban orang lain, yang kemudian menimbulkan perasaan yang serupa dalam diri seseorang.
Dalam dunia konseling, pada dasarnya seorang konselor bekerja atas dasar dan melalui proses empati pada proses konseling, baik konselor maupun konseli di bawa keluar dari dalam dirinya dan bergabung dalam kesatuan psikis yang sama. Emosi dan keinginan keduanya menjadi bagian dari kesatuan psikis yang baru. Sebagai konsekuensinya, masalah-masalah konseli akan ditimpakan kepada seorang “manusia baru”, dan dalam hal ini konselor menanggun setengahnya. Stabilitas psikolgis dan kejelasan pikiran, keberanian dan kekuatan keinginan yang dimiliki konselor akan menyusup kedalam diri konseli, dan memberikan bantuan yang besar dalam perjuangan kepribadianya.
Hendaknya dipahami dengan jelas bahwa empati bagi konselor tidak lantas berarti mengidentifikasi pengalaman dirinya dengan konseli. Identifikasi dangkal yang dimaksud terjadi ketika konselor memberikan komentar seperti “Ya, itu juga terjadi pada diri saya ketika saya begini pada usia sekian”. Kecuali dalam kondisi yang jarang terjadi, dalam konseling yang benar sesungguhnya tidak ada tempat bagi kenangan nostalgia konselor. Semua kenangan nostalgia konselor itu berasal dai egosentrisme, dan empati yang merupakan lawan dari egosentrisme. Pengalaman konselor yang telah lalu tidak muncul dalam konseling dalam bentuk seperti itu. Memahami konseli menurut polanya yang unik merupakakn yugas konselor yang sesungguhnya. Dan jika konselor berkata atau berpikir bahwa, “saya pernah mengalami masalah serupa dan saya mengatasinya dengan cara seperti ini dan ini, “ia akan memproyeksikan dirinya kedalam situasi tersebut yang mana dapat berakibat buruk. Di dalam konseling, pengalaman konselor sebelumnya sangat diperlukan. Tetapi pengalaman tersebut akan memberikan sumbangan tidak langsung. Secara teoritis, dapat dikatakan pada saat situasi konseling lebih baik konselor melupakan bahwa ia pernah mengalami saat serupa. Fungsi konselor adalah untuk menyerahkan dirinya, menjadi hampir tabula rasa, atau menyerah pada situasi empatik yang terbentuk dalam konseling.
Dalam hal ini konselor juga mempunyai sifat hangat kepada klien dimana dalam hal ini sikap hangat seorang konselor kepada klien. Sifat hangat itu adalah, ramah, penuh perhatian, dan memberikan kasih sayang. Konseli yang datang meminta bantuan konselor pada umunya kurang mengalami kehangatan dalam hidupnya, sehingga ia kehilangan kemampuan untuk bersikap ramah, memberikan perhatian, dan kasih sayang. Melalui konseling, klien ingin mendapat rasa hangat tersebut dan melakukan “sharing” dengan konselor. Apabila hal tersebut diperoleh, maka klien dapat mengalami perasaan nyaman.
Tidak hanya itu, seorang konselor harus ramah, penuh perhatian, dan memberikan kasih sayang kepada klien yang sedang mempunyai masalah, sehingga klien merasa nyaman dan diperhatikan dalam proses konseling oleh konselor. Dan dengan begitu klien akan membuka dirinya, sehingga apa yang diceritakan sesuai dengan apa yang dihadapi klien.
Hangat yang dimaksud ini : adanya resonansi psikologis yang dapat memberikan kepuasan dua belah pihak. Kehangatan ini sangat dibutuhkan oleh setiap manusia dalam berhubungan dengan orang lain. Kehangatan dibentuk dalam suatu interaksi, dan ini akan dirasakan oleh yang bersangkutan. Untuk menciptakan kehangatan diperlukan adanya hubungan akrab dan sebaliknya dengan keakraban akan membangkitkan kehangatan.
Kata kehangatan mungkin dapat disamakan dengan kata kepedulian. Kehangatan adalah keramah tamahan dan kepedulian yang ditunjukan melalui ekspresi wajah dan raut muka, nada suara, bahasa tubuh, sikap badan, kontak mata, dan tindakan-tindakan non verbal lainya saat konselor berusaha menghibur atau menunjukan empatinya kepada konselinya. Kehangatan selalu mengungkapkan, “saya peduli denganmu dan saya tahu bahwa engkau adalah orang yang baik.” Di sini, sama halnya perilaku manusia pada umunya, tindakan berbicara lebih keras daripada kata-kata. Konselor yang mempunyai kepedulian yang besar terhadap orang lainya tidak perlu mengungkapkan penghiburanya secara verbal, setiap orang yang tahu pasti dapat merasakanya.
2.3 Kepedulian
Kepedulian bahkan dapat mengantarkan kita kedalam era kehidupan baru yanglebih aman, nyaman dan menyenangkan bagi semua orang. Bayangkan kepedulian kita sebagai setetes air, itu mungkin tidak berarti. Tetapi bila tetes-tetes air dalam jumlah tak terbatas itu digabungkan, bukan tak mungkin tetes-tetes air itu menjelma menjadi samudra luas. Sebab kepedulian kita sekecil apapun jika dilakukan secara bersama-sama dan terus menerus dapat menciptakan persamaan yang sangat besar dikemudian hari.
Sebelum mengharapkan orang lain untuk bersikap lebih peduli, terlebih dahulu kembangkanlah kepedulian itu didalam diri kita sendiri. Kepedulian akan semakin subur jika kita selalu menanamkan dalam pikiran bahwa kita akan senang melakukan tindakan-tindakan kepedulian terhadap lingkungan maupun permasalahan orang lain. Kepedulian terhadap lingkungan itu mungkin bentuknya sangata sederhana dan mudah dilakukan, misalnya memungut dan membuang sampah pada tempatnya/mengolah sampah menjadi pupuk, hemat energi dan air, dan lain sebagainya. Jika terus dilakukan, maka lambat laun kepedulian itu menjadi nafas kita. Sehingga kita tidak akan merasa nyaman bila sehari saja tidak melakukan sesuatu yang baik bagi lingkungan.
Pupuklah empati, yaitu kepekaan memahami situasi kondisi orang lain. Jika kita fokus untuk selalu berempati, walapun dalam bentuk sederhana misalnya dalam bentuk ucapan yang baik, perhatian, bantuan tenaga, pikiran, sedikit bantuan materi, dan lain sebagainya, maka kita akan merasa lebih bahagia. Kita dapat mulai berempati kepada keluarga terlebih dahulu. Kemudian baru kita berempati kepada saudara, teman dan orang lain. Sekecil apapun kepedulian itu akan membuat orang lain merasa bahagia dan pada ujungnya dapat mempererat kasih sayang, persaudaraan dan kesetiakawanan. Bila dalam keseharian kita selalu menunjukkan kepedulian kepada lingkungan dan empati kepada orang lain, tak ubahnya setiap hari kita selalu mengingatkan orang lain agar bersikap peduli kepada orang lain dan memelihara lingkungan. Sikap keseharian yang kita tunjukkan akan mempermudah kita membudayakan sikap peduli ini dalam lingkungan sekitar. Bukan tak mungkin suatu saat budaya kepedulian itu menular kepada lingkup yang lebih besar.
Berkenaan dengan upaya memupuk kepedulian orang lain, tindakan yang dapat kita lakukan adalah lebih fokus pada tindak kepedulian yang pernah dilakukan orang lain. Jangan segan untuk memberikan pujian kepada mereka. Sebab pujian akan menumbuhkan semangat mereka untuk lebih peduli terhadap kebersihan dan kelestarian serta lebih berempati kepada orang lain. Mungkin terasa sulit untuk memulai. Tetapi dengan semangat untuk berbagi kehidupan dan menciptakan kehidupan yang lebih baik, maka kita pasti mampu melakukan tindak kepedulian. Kita sangat yakin bahwa bangsa Indonesia memiliki kepedulian yang tinggi kepada orang lain dan lingkungan. Sebagaimana kita ketahui antusiasme masyarakat selalu besar dalam menggalang dana dan memberikan bantuan untuk para korban bencana alam di Padang, Jawa Barat, dan berbagai tempat di Indonesia. Terlebih teknologi informasi saat ini sudah sangat maju untuk menggalang aksi-aksi kepedulian ke berbagai wilayah secara cepat.
2.4 Personal Distress (Distress Pribadi)
Distress pribadi merupakan permusuhan berfokus pada diri sendiri reaksi emosional (misalnya, kecemasan, kekhawatiran, ketidaknyamanan) untuk penangakap atau pemahaman dari keadaan emosi orang lain atau kondisi. Keadaan efektif negatif sering terjadi sebagai akibat dari penularan emosi ketika ada kebingungan antara diri dan lainnya. Tidak seperti empati, distress pribadi tidak harus kongruen dengan negara lain, dan sering menyebabkan reaksi berorientasi pada diri sendiri, egoistik untuk mengurangi itu, dengan menarik diri dari stres misalnya, sehingga mengurangi kemungkinan perilaku prososial.
BAB III
PRIBADI KONSELOR TERINTREGRASI
3.1 Latar Belakang
Dalam proses konseling, konselor adalah orang yang amat bermakna bagi seorang konseli.konselor menerima konseli apa adanya dan sedia dengan sepenuh hati membantu konseli mengatasi masalahnya sekalipun dalam situasi yang kritis. Keadaan seperti itulah yang menjadi alas an semua ahli konseling menempatkan peran konselor pada posisi yang amat strategis dalam upaya “menyelamatkan” konseli dari keadaan yang tidak menguntungkan baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Semua pendekatan dan ahli konseling menganggap bahwa konselor adalah pihak yang amat menentukan bagi keberhasilan proses konseling.
Mengingat pentingnya peran yang di emban konselor, maka untuk menopang tugasnya konselor harus memiliki kualisifikasi kepribadian yang memadai, yaitu pribadi yang penuh pengertian dan selalu mendorong orang lain untuk berkembang. Kepribadian konselor merupakan titik tumpu yang berfungi sebagai penyeimbang antara pengetahuan mengenai dinamika prilaku, ketika titik tumpu ini kuat, pengetahuan dan keterampilan bekerja secara seimbang dengan kpribadian akan berpengaruh dengan perubahan prilaku positif dalam konseling. Keberhasilan konseling lebih bergantung pada kwalitas pribadi konaselor disbanding kecermatan tekniknya.pribadi konselor yang amat penting mendukung efektifitas peranya adalah pribadi yang rela berkorban untuk kepentingan orang lain , yaitu kepentingan konseli.
3.2 Pribadi konselor terintegrasi
Kepribadian konselor merupakan titik tumpu yang berfungsi sebagai penyeimbang antara pengetahuan mengenai dinamika prilaku dan keterampilan. Ketika titik tumpu ini kuat, pengetahuan dan keterampilan bekerja secara seimbang dengan kepribadian berpengaruh pada perubahan prilaku positif dan konseling.
Pendidikan yang bermutu adalah yang mengintegrasikan tiga bidang dalam kegiatan utamanya secara sinergis, yaitu bidang administrative dan kepemimpinan, bidang instruksional dan bidang kurikuler, dan pembinaan siswa, pendidikan yang hanya melaksanakan bidang administrative dan pengajaran dengan mengabaikan bidang bimbingan hanya akan menghasilkan individu pintar dan terampil dalam aspek akademik namun kurang memiliki kemampuan atau kematangan dalam aspek psikososiospiritual. Oleh sebab itu, adanya bimbingan dan konseling secara langsung antara seorang konselor dengan konseli atau klien sangat dibutuhkan.
Pribadi konselor yang terintegrasi adalah pribadi yang mampu mengimplementasi keseluruhan sifat positif yang harus di miliki oleh seseorang konselor:beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa, berfikir positif, jujur, tidak pambrih, tulus, terbuka dan yang lain.
3.3 Indikator Pribadi Konselor yang Terintegrasi
Sebagai seorang pelaya dalam memberikan layanan konselor harus memiliki pribadi yang terintegrasi. Bagaimana prinbadi yang terinegrasi itu, adalah sebagai berikut :
a. Pribadi yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, maksudnya, konselor harus mencerminkan sikap beriman, bertakwa, toleran terhadap pemeluk agama lain, berakhlak mulia dan berbudi pekerti.
b. Menunjukkan keaslian (Genuiness)
Keaslia merupakan kemampuan konselor menyatakan dirinya secara bebas dan mendalam tanpa pura-pura, tidak bermain peran dan tidak mempertahankan diri. Konselor yang demikian selalu menampakkan keaslian pribadinya, sehingga tidak ada pertentangan antara apa yang ia lakukan dngn apa yang ia pikirkan, tingkah lakunya sederhana da bersahaja selalu menggambarkan pribadinya yang asli.
c. Memiliki sifat jujur,
Adalah kemampuan menyampaikan kebenaran, mengakui kesalahan, dapat dipercaya, dan bertindak secara terhormat.
d. Memberi bantuan tanpa pamrih
Tidak pamrih adalah tidak mengharapkan imbalan dari apa yang kita perbuat, dan melakukannya dengan tulus ikhlas.
e. Menunjukkan ketulusan dalam membantu
Artinya, tidak memiliki telendesi lain selain berbuat baik dan menolong orang lain. Orang yang tulus dapat menolong atau member bantuan tidak ada pamrih, semuanya dikerjakan dengan sukarela.
f. Menunjukkan sikap terbuka
Dalam melaksanakan konseling konselor harus bersikap terbuka kepada konseli untuk membangun kepercayaan konseli. Membuka diri adalah penampilan perasaan, sikap, pendapat, dan pengalaman-pengalaman pribadi konselor untuk kebaikan konsli. Konselor mengungkapkan diri sendiri dan berbagi dengan konseli dengan mengungkpkan beberapa pengalaman yang berarti yang terkait dengan masalah konseli.
g. Berpikir positif
Yang dimaksud berpikir positif disini adalah tidak berprasangka atau buruk sangka, tidak curiga, dan tidak cemburu pada orang lain. Menilai orang lain dan keadaan dari sisi positif dan membuang jauh pikiran-pikiran yang negative yang bernada menilai orang lain yang belum tentu dijamin kebenarannya.
h. Tidak memerlukan tepuk tangan orang lain
Hidup ini sangat dinamis, karena itu tidak diperlukan berperilku dan berharap yang berlebihan. Orang bijak mengatakantidak terlalu gembira jika dipuji tidak terlalu gembira jika dipuji, tidak terlalu sedih jika berduka dan tidak berharap terimakasih tetapi bisa berterima kasih serta tidak memerlukan tepuk tangan jika berhasil.
i. Membuang kesombongan dan menunjukan kesederhanaan
Tidak menunjukkan sikap sombong meski memiliki pengetahuan dan keterampilan layanan yag baik. Konselor tetap menunjukksn pribadi yang bersahaja dan bersikap tidak arogan. Mesti diingat adalah bahwa konseli adalah individu yang memerlukan bantuan. Karena itu tampilan konselor yang sederhana juga adalah kenyamanan bagi koseli.
j. Memiliki kapasitas empati
Empati adalah kemampuan seseorang untuk merasakan secara tepat apa yang dirasakan dan dialami oleh orang lain dan mengkomunikasikan persepsinya.
k. Respek
Respek menunjukkan secara tak langsung bahwa konselor menghargai mertabat dan nilai konsli sebagai manusia. Hal ini mengandung arti baha konselor menerima konseli, karena setiap konseli mempunyai hak sendiri, memiliki kebebasan, kemauan dan mampu membuat keputusannya sendiri.
l. Kesanggupan
Kesanggupan dinyatakan sebagai kharisma, sebagai suatu kekuatan yang dinamis da magnetis dari kualitas pribadi konselor. Konselor yang memiliki potensi ini selalu menampakkan kekuatannya dalam penampilan pribadinya. Ia dengan jelas tampak menguasai dirinya dan ia mampu menyalurkan kompetensinya dan rasa aman kepada konseli.
m. Kesiapan
Kesiapan adalah sesuatu yang berhubungan dengan perasaan diantara konseli dengan konselor pada waktu kini dan disini. Tingkat kesiapan yang tinggi ditunjukkan pada saat dialog dan analisis yang terbuka mengenai hubungan antar pribadi yang terjadi antara konselor dengan konseli dalam situasi konseling.
n. Akualisasi Diri
Dalam penelitian telah terbukti bahwa aktualisasi diri memiliki korelasi yang tinggi terhadap keberhasilan konseling. Aktualisasi diri adalah upaya konselor untuk menunjukkan kemampuan diri dalam membantu konseli untuk mengembangkan potensi konseli sehingga dia akan menemukan potens dirinya.
3.4 Tipe-tipe pribadi konselor yang terintegrasi
Tipe-tipe konselor yang memiliki pribadi terintegrasi di sampaikan sebagai berikut:
a. Memiliki pendirian sendiri tentang apa yang harus dicapai dan bagaimana mengerjakannya dengan mantap tidak peduli pada gangguan. Tipe ini akan serius, tenang, mencapai sukses dengan konsentrasi dan ketelitian, bertanggung jawab, teratur, senang pada fakta, logis, realitas, dapat di andalkan dan melihat segala sesuatu dapat diorganisasikan dengan baik.
b. Sukses karena ketekunan, originalitas dan keinginan kuat untuk melakukan apa saja yang di perlukan. Memberikan yang terbaik dalam pekerjaan. Dihormati karena keteguhan hatipada prinsipnya. Biasanya diikuti dan di hormatikarena kejelasan visi serta dedikasi pada hal-hal baik.
c. Biasanya memiliki ide-ide original dan dorongan kuat untuk mencapai ide-ide dan tujuan-tujuannya. Pada bidang yang pas untuknya, dia akan punya kekuatan untuk mengorganisasikan pekerjaan dan melakukannya dengan atau tanpa bantuan. Srektis, kritis, mandiri, menentukan dan kadang keras kepala. Harus belajar untuk mengalah pada hal-hal yang kurang penting untuk menang terhadah hal-hal yang lebih penting.
d. Terampil dalam pemecahan masalah. Tidak khawatir, menikmati apapun yang terjadi. Cenderung untuk menyukai sesuatu yang mekanis dan olahraga, dengan teman yang berada di sampingnya. Mudah beradaptasi, toleran, pada umumnya konservatif tentang nilai-nilai. Tidak suka penjelasan terlalupanjang. Paling baik dalam hal-hal nyata yang dapat dilakukan.
e. Renponsif dan bertanggung jawab. Pada umumnya peduli apa kata orang atau apa yang orang lain inginkan dan cenderung melakukan sesuatu dengan memperhatikan perasaan orang lain. Bisa menyajikan proposal atau memimpin diskusi dengan cepat dan taktis, pandai bergaul, popular, simpatik. Responsif pada kritik dan pujian.
f. Jujur dan terus terang, kuat kemauannya, menjadi pemimpin dalam kegiatan-kegiatan. Biasanya baik dalam kegiaan yang membutuhkan pembicaraan intelektual seperti public speaking. Biasanya cepat mendapat informasi dan menikmati informasi tersebut karena kesukaannya membaca. Bisa tampil lebih positif dan percaya diri daripada pengalaman mereka sendiri yang membutuhkan keyakinan.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Empati adalah suatu istilah umum yang dapat digunakan untuk pertemuan, pengaruh dan interaksi di antara pribadian dengan pribadi. “Empati” berasal dari kata Yunani “pathos”, yang berarti perasaan yang mendalam dan kuat yang mendekati penderitaan. Empati mengacu pada kegiatan identifikasi kepribadian yang lebih mendalam kepada seseorang sedemikian rupa sehingga seseorang yang berempati sesaat melupakan atau kehilangan dirinya sendiri.
Dalam proses konseling, konselor adalah orang yang amat bermakna bagi seorang konseli.konselor menerima konseli apa adanya dan sedia dengan sepenuh hati membantu konseli mengatasi masalahnya sekalipun dalam situasi yang kritis. Keadaan seperti itulah yang menjadi alas an semua ahli konseling menempatkan peran konselor pada posisi yang amat strategis dalam upaya “menyelamatkan” konseli dari keadaan yang tidak menguntungkan baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Semua pendekatan dan ahli konseling menganggap bahwa konselor adalah pihak yang amat menentukan bagi keberhasilan proses konseling.
4.2 Saran
Konselor diharapkan memiliki pribadi yang dapat mencerminkan perilakunya dalam mewujudkan kemampuan dalam hubungan membantu konseli tetapi juga mampu menyadari dunia lingkungannya, mau menyadari masalah sosial politiknya, dan dapat berdaya cipta secara luas dan tidak terbatas dalam pandangan profesionalnya. Maka dari itu dibutuhkan pemahaman yang luas tentang pngembangan pribadi konselor yang terintegrasi, demi tewujudnya lulusan guru pembimbing atau konselor yang profesonal dibidangnya. Dalam makalah kami akan dibahas lebih lanjut tentang pribadi konselor yang terintegrasi dan indicator pribadi konselor yang terintegrasi.
DAN PRIBADI KONSELOR TERINTEGRASI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Empati (dari Bahasa Yunani εμπάθεια yang berarti "ketertarikan fisik") didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengenali, mempersepsi, dan merasakan perasaan orang lain. Karena pikiran, kepercayaan, dan keinginan seseorang berhubungan dengan perasaannya, seseorang yang berempati akan mampu mengetahui pikiran dan mood orang lain. Empati sering dianggap sebagai semacam resonansi perasaan.
Seorang konselor diharapkan memiliki pribadi yang dapat mencerminkan perilakunya dalam mewujudkan kemampuan dalam hubungan membantu konseli tetapi juga mampu menyadari dunia lingkungannya, mau menyadari masalah sosial politiknya, dan dapat berdaya cipta secara luas dan tidak terbatas dalam pandangan profesionalnya. Maka dari itu dibutuhkan pemahaman yang luas tentang pngembangan pribadi konselor yang terintegrasi, demi tewujudnya lulusan guru pembimbing atau konselor yang profesonal dibidangnya. Dalam makalah kami akan dibahas lebih lanjut tentang pribadi konselor yang terintegrasi dan indicator pribadi konselor yang terintegrasi.
Konteks tugas konselor berada dalam kawasan pelayanan yang bertujuan mengembangkan potensi dan memandirikan konseli dalam pengambilan keputusan dan pilihan untuk mewujudkan kehidupan yang produktif, sejahtera, dan peduli kemaslahatan umum. Pelayanan dimaksud adalah pelayanan bimbingan dan konseling. Konselor adalah pengampu pelayanan ahli bimbingan dan konseling, terutama dalam jalur pendidikan formal dan nonformal. Ekspektasi kinerja konselor dalam menyelenggarakan pelayanan ahli bimbingan dan konseling senantiasa digerakkan oleh motif altruistik, sikap empatik, menghormati keragaman, serta mengutamakan kepentingan konseli, dengan selalu mencermati dampak jangka panjang dari pelayanan yang diberikan. Sosok utuh kompetensi konselor mencakup kompetensi akademik dan profesional sebagai satu keutuhan. Kompetensi akademik merupakan landasan ilmiah dari kiat pelaksanaan pelayanan profesional bimbingan dan konseling. Kompetensi akademik merupakan landasan bagi pengembangan kompetensi profesional, yang meliputi: (1) memahami secara mendalam konseli yang dilayani, (2) menguasai landasan dan kerangka teoretik bimbingan dan konseling, (3) menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan, dan (4) mengembangkan pribadi dan profesionalitas konselor secara berkelanjutan. Unjuk kerja konselor sangat dipengaruhi oleh kualitas penguasaan ke empat komptensi tersebut yang dilandasi oleh sikap, nilai, dan kecenderungan pribadi yang mendukung. Kompetensi akademik dan profesional konselor secara terintegrasi membangun keutuhan kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.
1.2 Rumusan Masalah
Dengan melihat latar belakang yang telah dikemukakan, maka beberapa masalah yang dapat penulis rumuskan dan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah
1.2.1 Bagaimana pengertian Empati ?
1.2.2 Bagaimana Pengertian Perspektif Subyektif (Internal Frame of Reference)?
1.2.3 Bagaimana pengertian kepedulian ?
1.2.4 Apa pengertian Personal Distress (Distress Pribadi) ?
1.2.5 Apa Latar belakang pribadi konselor yang terintegrasi ?
1.2.6 Bagaimana Pribadi konselor yang terintegrasi ?
1.2.7 Bagaimana Indikator Pribadi Konselor yang Terintegrasi ?
1.2.8 Bagaimana Tipe-tipe pribadi konselor yang terintegrasi ?
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini dilakukan untuk memenuhi tujuan-tujuan yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca. Secara terperinci, tujuan dari penulisan makalah ini adalah
1.3.1. Untuk mengetahui pengertian pengertian Empati
1.3.2. Untuk mengetahui Pengertian Perspektif Subyektif (Internal Frame of Reference)?
1.3.3. Untuk mengetahui pengertian kepedulian
1.3.4. Untuk mengetahui pengertian Personal Distress (Distress Pribadi)
1.3.5. Untuk mengetahui Latar belakang pribadi konselor yang terintegrasi.
1.3.6. Untuk mengetahui Pribadi konselor yang terintegrasi
1.3.7. Untuk mengetahui Indikator Pribadi Konselor yang Terintegrasi
1.3.8. Untuk mengetahui Tipe-tipe pribadi konselor yang terintegrasi
1.4 Manfaat Penulisan
Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dan tujuan tersebut adapun manfaat yang ingin diperoleh dalam pembahasan makalah ini yaitu untuk menambah minat siswa dalam pembelajaran. Dan juga untuk mengetahui bagaimana model pembelajaran Project Based Learning ( PjBL ) dilakukan dalam pembelajaran.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Empati
Empati adalah suatu istilah umum yang dapat digunakan untuk pertemuan, pengaruh dan interaksi di antara pribadian dengan pribadi. “Empati” berasal dari kata Yunani “pathos”, yang berarti perasaan yang mendalam dan kuat yang mendekati penderitaan. Empati mengacu pada kegiatan identifikasi kepribadian yang lebih mendalam kepada seseorang sedemikian rupa sehingga seseorang yang berempati sesaat melupakan atau kehilangan dirinya sendiri. Dalam proses empati yang mendalam inilah berlangsung proses pengertian, pengaruh dan bentuk hubungan antarpribadi yang penting lainnya. Dengan demikian, didalam mendiskusikan konsep empati yang tidak hanya mengulas suatu proses kunci menuju dan di dalam konseling efektif, tetapi juga termasuk pada pekerjaan sebagai guru, pembuka agama, dan pekerjaan lain yang keseluruhan isi pekerjaan tersebut bergantung pada proses mempengaruhi orang lain.
Empati juga dapat diartikan kepribadian yang ikut mesra dan berpikir ke dalam kepribadian lain sehingga tercapai suatu keadaan identifikasi. Dalam identifikasi ini pemahaman antar manusia yang sebenarnya dapat terjadi. Dalam kenyataanya, tanpa empati tidak mungkin ada pengertian. Pengalaman empati terjadi pada konselor berhari-hari baik ia mengenalinya atau tidak. Empati tampaknya sulit dipahami justru karena empati merupakan sesuatu yang sudah umum dikenali serta mendasar. Seperti yang ditunjukkan oleh Adler, bahwa identifikasi kepada diri seseorang ini muncul sampai batas-batas tertentu dalam setiap percakapan. Empati merupakan proses mendasar dalam cinta.
Dalam konseling, konselor yang efektif berusaha untuk melihat dan memahami masalah yang dihadapi konseli dari sudut pandang konseli itu.
Adler mengenali empati sebagai salah satu fungsi kreatif dalam kepribadian, dengan menyatakan bahwa :
Empati terjadi pada saat seorang manusia berbicara (satu sam lain). Tidak memungkinkan untuk memahami individu lain jika tidak memungkinkan pula untuk mengidentifikasikan diri dengan lawan bicara. Jika kita mencari asal usul kemampuan bertindak dan merasa seolah diri kita ini orang lain ini, kita dapat menemukannya dalam keberadaan perasaan sosial bawaan. Pada kenyataanya, ini merupakan perasaan kosmis dan refleksi dari keterkaitan kosmos seluruhnya yang ada dalam diri kita; karakteristik yang tak dapat dielakkan sebagai manusia.
2.2 Pemahaman Perspektif Subyektif (Internal Frame of Reference)
Istilah lain empati juga dikemukakan oleh E.B. Tichener, seorang ahli psikologi Amerika. Menurut Tichener empati awalnya dalam Bahasa Inggris dari kata Yunani empatheia, “ikut merasakan”, istilah yang pada awalnya digunakan para teoritikus estetika untuk kemampuan memahami pengalaman perspektif subjektif orang lain. Teori Titchener adalah bahwa empati berasal dari semacam peniruan secara fisik atas beban orang lain, yang kemudian menimbulkan perasaan yang serupa dalam diri seseorang.
Dalam dunia konseling, pada dasarnya seorang konselor bekerja atas dasar dan melalui proses empati pada proses konseling, baik konselor maupun konseli di bawa keluar dari dalam dirinya dan bergabung dalam kesatuan psikis yang sama. Emosi dan keinginan keduanya menjadi bagian dari kesatuan psikis yang baru. Sebagai konsekuensinya, masalah-masalah konseli akan ditimpakan kepada seorang “manusia baru”, dan dalam hal ini konselor menanggun setengahnya. Stabilitas psikolgis dan kejelasan pikiran, keberanian dan kekuatan keinginan yang dimiliki konselor akan menyusup kedalam diri konseli, dan memberikan bantuan yang besar dalam perjuangan kepribadianya.
Hendaknya dipahami dengan jelas bahwa empati bagi konselor tidak lantas berarti mengidentifikasi pengalaman dirinya dengan konseli. Identifikasi dangkal yang dimaksud terjadi ketika konselor memberikan komentar seperti “Ya, itu juga terjadi pada diri saya ketika saya begini pada usia sekian”. Kecuali dalam kondisi yang jarang terjadi, dalam konseling yang benar sesungguhnya tidak ada tempat bagi kenangan nostalgia konselor. Semua kenangan nostalgia konselor itu berasal dai egosentrisme, dan empati yang merupakan lawan dari egosentrisme. Pengalaman konselor yang telah lalu tidak muncul dalam konseling dalam bentuk seperti itu. Memahami konseli menurut polanya yang unik merupakakn yugas konselor yang sesungguhnya. Dan jika konselor berkata atau berpikir bahwa, “saya pernah mengalami masalah serupa dan saya mengatasinya dengan cara seperti ini dan ini, “ia akan memproyeksikan dirinya kedalam situasi tersebut yang mana dapat berakibat buruk. Di dalam konseling, pengalaman konselor sebelumnya sangat diperlukan. Tetapi pengalaman tersebut akan memberikan sumbangan tidak langsung. Secara teoritis, dapat dikatakan pada saat situasi konseling lebih baik konselor melupakan bahwa ia pernah mengalami saat serupa. Fungsi konselor adalah untuk menyerahkan dirinya, menjadi hampir tabula rasa, atau menyerah pada situasi empatik yang terbentuk dalam konseling.
Dalam hal ini konselor juga mempunyai sifat hangat kepada klien dimana dalam hal ini sikap hangat seorang konselor kepada klien. Sifat hangat itu adalah, ramah, penuh perhatian, dan memberikan kasih sayang. Konseli yang datang meminta bantuan konselor pada umunya kurang mengalami kehangatan dalam hidupnya, sehingga ia kehilangan kemampuan untuk bersikap ramah, memberikan perhatian, dan kasih sayang. Melalui konseling, klien ingin mendapat rasa hangat tersebut dan melakukan “sharing” dengan konselor. Apabila hal tersebut diperoleh, maka klien dapat mengalami perasaan nyaman.
Tidak hanya itu, seorang konselor harus ramah, penuh perhatian, dan memberikan kasih sayang kepada klien yang sedang mempunyai masalah, sehingga klien merasa nyaman dan diperhatikan dalam proses konseling oleh konselor. Dan dengan begitu klien akan membuka dirinya, sehingga apa yang diceritakan sesuai dengan apa yang dihadapi klien.
Hangat yang dimaksud ini : adanya resonansi psikologis yang dapat memberikan kepuasan dua belah pihak. Kehangatan ini sangat dibutuhkan oleh setiap manusia dalam berhubungan dengan orang lain. Kehangatan dibentuk dalam suatu interaksi, dan ini akan dirasakan oleh yang bersangkutan. Untuk menciptakan kehangatan diperlukan adanya hubungan akrab dan sebaliknya dengan keakraban akan membangkitkan kehangatan.
Kata kehangatan mungkin dapat disamakan dengan kata kepedulian. Kehangatan adalah keramah tamahan dan kepedulian yang ditunjukan melalui ekspresi wajah dan raut muka, nada suara, bahasa tubuh, sikap badan, kontak mata, dan tindakan-tindakan non verbal lainya saat konselor berusaha menghibur atau menunjukan empatinya kepada konselinya. Kehangatan selalu mengungkapkan, “saya peduli denganmu dan saya tahu bahwa engkau adalah orang yang baik.” Di sini, sama halnya perilaku manusia pada umunya, tindakan berbicara lebih keras daripada kata-kata. Konselor yang mempunyai kepedulian yang besar terhadap orang lainya tidak perlu mengungkapkan penghiburanya secara verbal, setiap orang yang tahu pasti dapat merasakanya.
2.3 Kepedulian
Kepedulian bahkan dapat mengantarkan kita kedalam era kehidupan baru yanglebih aman, nyaman dan menyenangkan bagi semua orang. Bayangkan kepedulian kita sebagai setetes air, itu mungkin tidak berarti. Tetapi bila tetes-tetes air dalam jumlah tak terbatas itu digabungkan, bukan tak mungkin tetes-tetes air itu menjelma menjadi samudra luas. Sebab kepedulian kita sekecil apapun jika dilakukan secara bersama-sama dan terus menerus dapat menciptakan persamaan yang sangat besar dikemudian hari.
Sebelum mengharapkan orang lain untuk bersikap lebih peduli, terlebih dahulu kembangkanlah kepedulian itu didalam diri kita sendiri. Kepedulian akan semakin subur jika kita selalu menanamkan dalam pikiran bahwa kita akan senang melakukan tindakan-tindakan kepedulian terhadap lingkungan maupun permasalahan orang lain. Kepedulian terhadap lingkungan itu mungkin bentuknya sangata sederhana dan mudah dilakukan, misalnya memungut dan membuang sampah pada tempatnya/mengolah sampah menjadi pupuk, hemat energi dan air, dan lain sebagainya. Jika terus dilakukan, maka lambat laun kepedulian itu menjadi nafas kita. Sehingga kita tidak akan merasa nyaman bila sehari saja tidak melakukan sesuatu yang baik bagi lingkungan.
Pupuklah empati, yaitu kepekaan memahami situasi kondisi orang lain. Jika kita fokus untuk selalu berempati, walapun dalam bentuk sederhana misalnya dalam bentuk ucapan yang baik, perhatian, bantuan tenaga, pikiran, sedikit bantuan materi, dan lain sebagainya, maka kita akan merasa lebih bahagia. Kita dapat mulai berempati kepada keluarga terlebih dahulu. Kemudian baru kita berempati kepada saudara, teman dan orang lain. Sekecil apapun kepedulian itu akan membuat orang lain merasa bahagia dan pada ujungnya dapat mempererat kasih sayang, persaudaraan dan kesetiakawanan. Bila dalam keseharian kita selalu menunjukkan kepedulian kepada lingkungan dan empati kepada orang lain, tak ubahnya setiap hari kita selalu mengingatkan orang lain agar bersikap peduli kepada orang lain dan memelihara lingkungan. Sikap keseharian yang kita tunjukkan akan mempermudah kita membudayakan sikap peduli ini dalam lingkungan sekitar. Bukan tak mungkin suatu saat budaya kepedulian itu menular kepada lingkup yang lebih besar.
Berkenaan dengan upaya memupuk kepedulian orang lain, tindakan yang dapat kita lakukan adalah lebih fokus pada tindak kepedulian yang pernah dilakukan orang lain. Jangan segan untuk memberikan pujian kepada mereka. Sebab pujian akan menumbuhkan semangat mereka untuk lebih peduli terhadap kebersihan dan kelestarian serta lebih berempati kepada orang lain. Mungkin terasa sulit untuk memulai. Tetapi dengan semangat untuk berbagi kehidupan dan menciptakan kehidupan yang lebih baik, maka kita pasti mampu melakukan tindak kepedulian. Kita sangat yakin bahwa bangsa Indonesia memiliki kepedulian yang tinggi kepada orang lain dan lingkungan. Sebagaimana kita ketahui antusiasme masyarakat selalu besar dalam menggalang dana dan memberikan bantuan untuk para korban bencana alam di Padang, Jawa Barat, dan berbagai tempat di Indonesia. Terlebih teknologi informasi saat ini sudah sangat maju untuk menggalang aksi-aksi kepedulian ke berbagai wilayah secara cepat.
2.4 Personal Distress (Distress Pribadi)
Distress pribadi merupakan permusuhan berfokus pada diri sendiri reaksi emosional (misalnya, kecemasan, kekhawatiran, ketidaknyamanan) untuk penangakap atau pemahaman dari keadaan emosi orang lain atau kondisi. Keadaan efektif negatif sering terjadi sebagai akibat dari penularan emosi ketika ada kebingungan antara diri dan lainnya. Tidak seperti empati, distress pribadi tidak harus kongruen dengan negara lain, dan sering menyebabkan reaksi berorientasi pada diri sendiri, egoistik untuk mengurangi itu, dengan menarik diri dari stres misalnya, sehingga mengurangi kemungkinan perilaku prososial.
BAB III
PRIBADI KONSELOR TERINTREGRASI
3.1 Latar Belakang
Dalam proses konseling, konselor adalah orang yang amat bermakna bagi seorang konseli.konselor menerima konseli apa adanya dan sedia dengan sepenuh hati membantu konseli mengatasi masalahnya sekalipun dalam situasi yang kritis. Keadaan seperti itulah yang menjadi alas an semua ahli konseling menempatkan peran konselor pada posisi yang amat strategis dalam upaya “menyelamatkan” konseli dari keadaan yang tidak menguntungkan baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Semua pendekatan dan ahli konseling menganggap bahwa konselor adalah pihak yang amat menentukan bagi keberhasilan proses konseling.
Mengingat pentingnya peran yang di emban konselor, maka untuk menopang tugasnya konselor harus memiliki kualisifikasi kepribadian yang memadai, yaitu pribadi yang penuh pengertian dan selalu mendorong orang lain untuk berkembang. Kepribadian konselor merupakan titik tumpu yang berfungi sebagai penyeimbang antara pengetahuan mengenai dinamika prilaku, ketika titik tumpu ini kuat, pengetahuan dan keterampilan bekerja secara seimbang dengan kpribadian akan berpengaruh dengan perubahan prilaku positif dalam konseling. Keberhasilan konseling lebih bergantung pada kwalitas pribadi konaselor disbanding kecermatan tekniknya.pribadi konselor yang amat penting mendukung efektifitas peranya adalah pribadi yang rela berkorban untuk kepentingan orang lain , yaitu kepentingan konseli.
3.2 Pribadi konselor terintegrasi
Kepribadian konselor merupakan titik tumpu yang berfungsi sebagai penyeimbang antara pengetahuan mengenai dinamika prilaku dan keterampilan. Ketika titik tumpu ini kuat, pengetahuan dan keterampilan bekerja secara seimbang dengan kepribadian berpengaruh pada perubahan prilaku positif dan konseling.
Pendidikan yang bermutu adalah yang mengintegrasikan tiga bidang dalam kegiatan utamanya secara sinergis, yaitu bidang administrative dan kepemimpinan, bidang instruksional dan bidang kurikuler, dan pembinaan siswa, pendidikan yang hanya melaksanakan bidang administrative dan pengajaran dengan mengabaikan bidang bimbingan hanya akan menghasilkan individu pintar dan terampil dalam aspek akademik namun kurang memiliki kemampuan atau kematangan dalam aspek psikososiospiritual. Oleh sebab itu, adanya bimbingan dan konseling secara langsung antara seorang konselor dengan konseli atau klien sangat dibutuhkan.
Pribadi konselor yang terintegrasi adalah pribadi yang mampu mengimplementasi keseluruhan sifat positif yang harus di miliki oleh seseorang konselor:beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa, berfikir positif, jujur, tidak pambrih, tulus, terbuka dan yang lain.
3.3 Indikator Pribadi Konselor yang Terintegrasi
Sebagai seorang pelaya dalam memberikan layanan konselor harus memiliki pribadi yang terintegrasi. Bagaimana prinbadi yang terinegrasi itu, adalah sebagai berikut :
a. Pribadi yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, maksudnya, konselor harus mencerminkan sikap beriman, bertakwa, toleran terhadap pemeluk agama lain, berakhlak mulia dan berbudi pekerti.
b. Menunjukkan keaslian (Genuiness)
Keaslia merupakan kemampuan konselor menyatakan dirinya secara bebas dan mendalam tanpa pura-pura, tidak bermain peran dan tidak mempertahankan diri. Konselor yang demikian selalu menampakkan keaslian pribadinya, sehingga tidak ada pertentangan antara apa yang ia lakukan dngn apa yang ia pikirkan, tingkah lakunya sederhana da bersahaja selalu menggambarkan pribadinya yang asli.
c. Memiliki sifat jujur,
Adalah kemampuan menyampaikan kebenaran, mengakui kesalahan, dapat dipercaya, dan bertindak secara terhormat.
d. Memberi bantuan tanpa pamrih
Tidak pamrih adalah tidak mengharapkan imbalan dari apa yang kita perbuat, dan melakukannya dengan tulus ikhlas.
e. Menunjukkan ketulusan dalam membantu
Artinya, tidak memiliki telendesi lain selain berbuat baik dan menolong orang lain. Orang yang tulus dapat menolong atau member bantuan tidak ada pamrih, semuanya dikerjakan dengan sukarela.
f. Menunjukkan sikap terbuka
Dalam melaksanakan konseling konselor harus bersikap terbuka kepada konseli untuk membangun kepercayaan konseli. Membuka diri adalah penampilan perasaan, sikap, pendapat, dan pengalaman-pengalaman pribadi konselor untuk kebaikan konsli. Konselor mengungkapkan diri sendiri dan berbagi dengan konseli dengan mengungkpkan beberapa pengalaman yang berarti yang terkait dengan masalah konseli.
g. Berpikir positif
Yang dimaksud berpikir positif disini adalah tidak berprasangka atau buruk sangka, tidak curiga, dan tidak cemburu pada orang lain. Menilai orang lain dan keadaan dari sisi positif dan membuang jauh pikiran-pikiran yang negative yang bernada menilai orang lain yang belum tentu dijamin kebenarannya.
h. Tidak memerlukan tepuk tangan orang lain
Hidup ini sangat dinamis, karena itu tidak diperlukan berperilku dan berharap yang berlebihan. Orang bijak mengatakantidak terlalu gembira jika dipuji tidak terlalu gembira jika dipuji, tidak terlalu sedih jika berduka dan tidak berharap terimakasih tetapi bisa berterima kasih serta tidak memerlukan tepuk tangan jika berhasil.
i. Membuang kesombongan dan menunjukan kesederhanaan
Tidak menunjukkan sikap sombong meski memiliki pengetahuan dan keterampilan layanan yag baik. Konselor tetap menunjukksn pribadi yang bersahaja dan bersikap tidak arogan. Mesti diingat adalah bahwa konseli adalah individu yang memerlukan bantuan. Karena itu tampilan konselor yang sederhana juga adalah kenyamanan bagi koseli.
j. Memiliki kapasitas empati
Empati adalah kemampuan seseorang untuk merasakan secara tepat apa yang dirasakan dan dialami oleh orang lain dan mengkomunikasikan persepsinya.
k. Respek
Respek menunjukkan secara tak langsung bahwa konselor menghargai mertabat dan nilai konsli sebagai manusia. Hal ini mengandung arti baha konselor menerima konseli, karena setiap konseli mempunyai hak sendiri, memiliki kebebasan, kemauan dan mampu membuat keputusannya sendiri.
l. Kesanggupan
Kesanggupan dinyatakan sebagai kharisma, sebagai suatu kekuatan yang dinamis da magnetis dari kualitas pribadi konselor. Konselor yang memiliki potensi ini selalu menampakkan kekuatannya dalam penampilan pribadinya. Ia dengan jelas tampak menguasai dirinya dan ia mampu menyalurkan kompetensinya dan rasa aman kepada konseli.
m. Kesiapan
Kesiapan adalah sesuatu yang berhubungan dengan perasaan diantara konseli dengan konselor pada waktu kini dan disini. Tingkat kesiapan yang tinggi ditunjukkan pada saat dialog dan analisis yang terbuka mengenai hubungan antar pribadi yang terjadi antara konselor dengan konseli dalam situasi konseling.
n. Akualisasi Diri
Dalam penelitian telah terbukti bahwa aktualisasi diri memiliki korelasi yang tinggi terhadap keberhasilan konseling. Aktualisasi diri adalah upaya konselor untuk menunjukkan kemampuan diri dalam membantu konseli untuk mengembangkan potensi konseli sehingga dia akan menemukan potens dirinya.
3.4 Tipe-tipe pribadi konselor yang terintegrasi
Tipe-tipe konselor yang memiliki pribadi terintegrasi di sampaikan sebagai berikut:
a. Memiliki pendirian sendiri tentang apa yang harus dicapai dan bagaimana mengerjakannya dengan mantap tidak peduli pada gangguan. Tipe ini akan serius, tenang, mencapai sukses dengan konsentrasi dan ketelitian, bertanggung jawab, teratur, senang pada fakta, logis, realitas, dapat di andalkan dan melihat segala sesuatu dapat diorganisasikan dengan baik.
b. Sukses karena ketekunan, originalitas dan keinginan kuat untuk melakukan apa saja yang di perlukan. Memberikan yang terbaik dalam pekerjaan. Dihormati karena keteguhan hatipada prinsipnya. Biasanya diikuti dan di hormatikarena kejelasan visi serta dedikasi pada hal-hal baik.
c. Biasanya memiliki ide-ide original dan dorongan kuat untuk mencapai ide-ide dan tujuan-tujuannya. Pada bidang yang pas untuknya, dia akan punya kekuatan untuk mengorganisasikan pekerjaan dan melakukannya dengan atau tanpa bantuan. Srektis, kritis, mandiri, menentukan dan kadang keras kepala. Harus belajar untuk mengalah pada hal-hal yang kurang penting untuk menang terhadah hal-hal yang lebih penting.
d. Terampil dalam pemecahan masalah. Tidak khawatir, menikmati apapun yang terjadi. Cenderung untuk menyukai sesuatu yang mekanis dan olahraga, dengan teman yang berada di sampingnya. Mudah beradaptasi, toleran, pada umumnya konservatif tentang nilai-nilai. Tidak suka penjelasan terlalupanjang. Paling baik dalam hal-hal nyata yang dapat dilakukan.
e. Renponsif dan bertanggung jawab. Pada umumnya peduli apa kata orang atau apa yang orang lain inginkan dan cenderung melakukan sesuatu dengan memperhatikan perasaan orang lain. Bisa menyajikan proposal atau memimpin diskusi dengan cepat dan taktis, pandai bergaul, popular, simpatik. Responsif pada kritik dan pujian.
f. Jujur dan terus terang, kuat kemauannya, menjadi pemimpin dalam kegiatan-kegiatan. Biasanya baik dalam kegiaan yang membutuhkan pembicaraan intelektual seperti public speaking. Biasanya cepat mendapat informasi dan menikmati informasi tersebut karena kesukaannya membaca. Bisa tampil lebih positif dan percaya diri daripada pengalaman mereka sendiri yang membutuhkan keyakinan.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Empati adalah suatu istilah umum yang dapat digunakan untuk pertemuan, pengaruh dan interaksi di antara pribadian dengan pribadi. “Empati” berasal dari kata Yunani “pathos”, yang berarti perasaan yang mendalam dan kuat yang mendekati penderitaan. Empati mengacu pada kegiatan identifikasi kepribadian yang lebih mendalam kepada seseorang sedemikian rupa sehingga seseorang yang berempati sesaat melupakan atau kehilangan dirinya sendiri.
Dalam proses konseling, konselor adalah orang yang amat bermakna bagi seorang konseli.konselor menerima konseli apa adanya dan sedia dengan sepenuh hati membantu konseli mengatasi masalahnya sekalipun dalam situasi yang kritis. Keadaan seperti itulah yang menjadi alas an semua ahli konseling menempatkan peran konselor pada posisi yang amat strategis dalam upaya “menyelamatkan” konseli dari keadaan yang tidak menguntungkan baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Semua pendekatan dan ahli konseling menganggap bahwa konselor adalah pihak yang amat menentukan bagi keberhasilan proses konseling.
4.2 Saran
Konselor diharapkan memiliki pribadi yang dapat mencerminkan perilakunya dalam mewujudkan kemampuan dalam hubungan membantu konseli tetapi juga mampu menyadari dunia lingkungannya, mau menyadari masalah sosial politiknya, dan dapat berdaya cipta secara luas dan tidak terbatas dalam pandangan profesionalnya. Maka dari itu dibutuhkan pemahaman yang luas tentang pngembangan pribadi konselor yang terintegrasi, demi tewujudnya lulusan guru pembimbing atau konselor yang profesonal dibidangnya. Dalam makalah kami akan dibahas lebih lanjut tentang pribadi konselor yang terintegrasi dan indicator pribadi konselor yang terintegrasi.